Kamis, 21 Juli 2011

SISTEM VENTILASI ARTIFICIAL TAMBANG BAWAH TANAH

Ventilasi menjadi salah satu instrumentasi esensial dalam aktivitas tambang bawah tanah karena memberikan supply udara bersih bagi aktivitas pekerja dan alat-alat di lokasi underground. Ventilasi dibutuhkan karena supply udara alami tidak mampu memberikan jaminan penyediaan udara bersih yang mencukupi. Ini juga merupakan implementasi dari good mining practice yang memberikan jaminan keamanan bagi para pekerjanya.
Berdasarkan asal supply udaranya, sistem ventilasi dibagi menjadi 2, yaitu
1.       Sistem ventilasi alamiah, Sistem ini terbentuk secara alami seiring dengan terbentuknya bukaan/penggalian tunnel pada tambang bawah tanah. Dengan adanya lubang bukaan, secara otomatis udara akan mengalir melalui lubang bukaan tersebut.
2.       Sistem ventilasi buatan (artificial), Sistem ventilasi ini dibangkitkan dengan bantuan listrik.Sebagai alat suplai udaranya digunakan fan. Fan pada system ini bertugas sebagai pengatur sirkulasi udara sehingga setiap front kerja pada tambang tersebut akan tersuplai udara cukup.

Untuk itu, system ventilasi yang umum digunakan pada tambang bawah tanah adalah artificial ventilation system. Artificial ventilation system ini adalah system ventilasi buatan dengan memberikan intake udara bersih yang dihasilkan dari fan blower dan mengeluarkan udara kotor melalui system exhaust fan. System jaringan buatan inilah yang dipergunakan di dalam tambang bawha tanah untuk membuat sirkulasi udara lancar. System ventilasi sangat tergantung dari ketersediaan dan karakteristik fan blower dan exhaust.
Sistem ventilasi dibagi menjadi 3 berdasarkan penggunaan fannya, yaitu:
1.       Sistem forcing, Sistem forcing akan memberikan hembusan udara bertekanan positif ke front kerja. Tekanan positif berarti aliran udara ini mempunyai tekanan lebih besar dibanding udara di atmosfer. Udara dialirkan melalui pipa/flexible saluran ventilasi ini menghubungkan fan dengan front kerja sebagaimana terlihat pada gambar. Dalam system ini, dihembuskan udar bersih ke front.
Ventilasi Sistem forcing
2.       Sistem exhausting,  Sistem exhausting akan memberikan hembusan udara yang berkebalikan dengan sistem forcing, yaitu bertekanan negatif ke front kerja. Tekanan negatif yang dimaksud disini adalah tekanan yang dihasilkan oleh proses penghisapan udara. Pada sistem exhausting, fan diletakkan dekat dengan front kerja, sehingga dapat memudahkan kerjanya dalam menghisap udara dari front kerja tersebut. Udara yang dihisap adalah udara kotor atau gas yang tak diinginkan.

Ventilasi Sistem exhausting

3.       Sistem overlap,  Sistem ini merupakan gabungan dari sistem exhausting dan forcing. Berbeda dengan kedua sistem diatas, sistem ini menggunakan 2 fan yang memiliki tugas berbeda satu sama lain. Ada fan yang bertugas menyuplai udara ke front (intake fan), ada fan yang bertugas untuk menghisap udara dari front (exhausting fan). Tetapi exhaust fan dipasang lebih mundur (lebih jauh) dari front penambangan. Sedangkan duct akhir dari intake fan dipasang lebih dekat dengan front penambangan. Hal ini untuk mencegah agara udara yang disuplai langsung dihisap oleh exhaust fan sehingga udara akan memiliki waktu untuk bersirkulasi pada front penambangan.

Ventilasi Sistem overlap

untuk menghasilkan system ventilasi yang mampu bersirkulasi, ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan (acuannya adalah Kepmentamben no. 555) yaitu:
·         Kebutuhan udara pada front tambang bawah tanah sebesar  3 m3/menit  untuk setiap hp mesin dan  1 m3/menit untuk setiap pekerja
·         Tekanan udara akan berbanding terbalik terhadap luas permukaan saluran tersebut, yang dinyatakan dengan rumus

·         Head loss yaitu kehilangan debit udara yang menyebabkan penurunan efisiensi  yang terjadi karena dari sistem ventilasi tersebut. Head loss terjadi karena adanya aliran udara akibat kecepatan (Hv), gesekan (Hf) dan tikungan saluran/perubahan ukuran saluran (Hx), yang dapat dirumuskan sebagai berikut


Head loss terbesar terjadi apabila ada arus yang dibelokan dengan sudut tajam. Grafik di bawah ini menunjukkan penurunan efisiensi  (head loss) debit ventilasi karena tikungan 90 derajat (dipengaruhi oleh diameter flexible/rigid duct) dan sudut tikungan.

Chart shock loss faktor untuk tikungan 90°, cross section lingkaran

Jenis duct juga mempengaruhi hambatan efisisensi supply ventilasi karena adanya gesekan (friction factor) antara udara dengan masa jenis dari duct itu sendiri. Beberapa jenis friction factor untuk rigid duct seperti dijelaskan di table di bawah ini:

Faktor gesekan pada berbagai jenis duct


 
 

Rabu, 20 Juli 2011

Ventilasi Tambang Bawah Tanah dan Gas Pengotor

Pada dasarnya tambang bawah tanah adalah suatu system yang unik, karena mengkombinasikan berbagai metode penambangan, ventilasi, supporting hingga pengawaairan yang kompleks. Tambang bawah tanah bagi sebagian orang merupakan “seni” dalam mengekstrak mineral dari perut bumi. Dan salah satu hal yang sangat esensial dalam tambang bawah tanah adalah system ventilasi.
Pada dasarnya, sistem ventilasi merupakan metode aplikasi dari prinsip fluida dinamik (dalam hal ini udara) terhadap laju udara pada bukaan tambang bawah tanah. SIstem ventilasi ini diperlukan untuk memberikan asupan udara bersh bagi pekerja tambang juga bagi alat-alat mekanis di lokasi tersebut. Untuk menunjang aktivitas tambang bawah tanah,  maka dibutuhkan suatu sistem ventilasi yang sesuai sehingga member jaminan suplai udara yang memadai dan dapat bekerja dengan optimal. Pada dasarnya, sistem ventilasi tambang bawah tanah ini memiliki 3 fungsi umum yaitu:
1.       Sebagai control kualitas dan kuantitas udara, yaitu menyedeiakan dan mengalirkan udara segar ke dalam tambang untuk kebutuhan pernafasan pekerja dan proses lain yang ada di dalamnya, termasuk debit dan tekanan
2.       Melarutkan dan membuang gas gas pengotor hingga mencapai kondisi balance (equilibrium) terutama setelah  aktivitas peledakan dan memenuhi syarat bagi aktivitas penambangan
3.       Menyngkirkan debu dan partikulat hingga berada di bawah nilai ambang batas (NAB) dan aman untuk melaksanakan aktivitas tambang
4.       Mengatur (adjustment) temperature, kelembaban di dalam tambang sehingga memberikan kondisi yang nyaman untuk bekerja

Ventilasi yang baik akan mampu memberikan supply udara bersih dan baik serta mengeluarkan udara kotor dan gas berbahaya (toxic) lain di dalam tambang sehingga memberikan ruang kerja yang nyaman. Ventilasi menjadi kebutuhan pokok bagi tiap aktivitas tambang bawah tanah. Tanpa system ventilasi yang memadai, niscaya sulit untuk meneruskan aktivitas tambang.
Ada beberapa prinsip pengaturan jaringan ventilasi di tambang bawah tanah, yaitu:
1.       Udara akan mengalir dari suhu rendah ke tinggi, dari tekanan tinggi ke rendah.
2.       Udara akan lebih banyak mengalir pada jalur ventilasi dengan resistansi yang lebih kecil dibandingkan dengan jalur dengan resistansi yang besar.
3.       Hukum-hukum mekanika fluida akan selalu diikuti dalam perhitungan dalam ventilasi tambang.
Komposisi Udara
Udara segar yang dibutuhkan di dalam tambang adalah udara dalam keadaan setimbang yaitu udara yang berkomposisi:



Dalam perhitungan system ventilasi tambang, dihitung bahwa udara segar atau udara normal berkomposisi Nitrogen 79% dan Oksigen 21% dan selalu mengandung Karbondioksida sebanyak 0,03%.
Oksigen adalah unsur yang paling diperlukan untuk pernafasan manusia. Kadar oksigen normal sebesar 20,95% adalah kadar oksigen bebas di udara sedangkan Nilai Ambang Batas (atas) nya adalah 23%. Jika komposisi oksigen bebas lebih dari ini, maka potensi terbakar sangat tinggi. Percikan bara saja dapat menjadi sumber api yang berbahaya. NIlai Ambang Batas (bawah) nya adalah 19,5%. Artinya jika kurang dari ini akan berbahaya bagi pernafasan.






Selain itu ada gas-gas pengotor lain yang sifatnya toxic hingga tidak beracun. Gas-gas yang umum terdapat di dalam tambang antara lain:


Jaringan ventilasi ditujukan untuk dapat memberikan supply udara bersih dan membuang udara kotor dna gas gas beracun seperti yang disebutkan diatas. Apabila ada satu indicator gas beracun melebihi ambang batas, maka perlu dilakukan treatment untuk menghilangkan gas tersebut. Salah satu gas beracun yang kerap terdapat di tambang bawha tanah adalah karbonmonooksida (CO).
Karbon monoksida bersifat racun karena hemoglobin dalam darah lebih mudah mengikat gas ini dibanding oksigen. Akibat darah yang justru mengangkut CO, maka suplai oksigen ke organ vital menjadi berkurang. Salah satu organ yang peka adalah otak. Kekurangan oksigen pada otak dapat menyebabkan kerusakan otak hingga mengantar pada kematian. Berikut adalah gejala akibat keracunan karbon monoksida dalam berbagai konsentrasi:


 

Reklamasi Pada Lahan Tambang

Jika berbicara reklamasi di daerah tambang, umumnya orang berpikir bahwa itu adalah tahap akhir aktivitas penambangan dalam artian cadangannya telah habis dan tidak ekonomis lagi. Wajar saja bia banyak orang berasumsi seperti itu. Namun ada sedikit kekeliruan, reklamasi tidak seluruhnya dikerjakan pada saat tambang telah berakhir, melainkan saat tambang masih beroperasi hanya dikerjakan pada lahan yang dianggap selesai dieksploitasi. Mudahnya begini, jika perusahaan tambang A memiliki 6 lokasi kerja yaitu A1, A2, A3 … A6, dan lokasi A2 telah selesai dieksplotasi, maka lokasi ini yang di reklamasi, sementara mereka masih dapat menambang di lahan lainnya. Jadi reklamasi selalu dapat dilakukan pada saat masih beroperasi.
Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Pengertian lain dari reklamasi yang dihubungkan dengan kegiatan pertambangan yaitu suatu usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Istilah lain yang berkaitan dengan reklamasi yaitu rehabilitasi lahan dan revegetasi. Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan. Revegetasi merupakan suatu usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang.
Berdasarkan keputusan menteri kehutanan dan perkebunan tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan pada BAB 2 PASAL 3 berisi tentang tujuan reklamasi yaitu untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya.
Reklamasi ini menjadi kewajiban bagi perusahaan tambang baik operasional tambang terbuka (open pit), tambang bawah tanah (underground), tambang placer maupun tambang bawah laut. Pada tambang terbuka umumnya aktivitas operasional dilakukan dengan membuat jenjang (bench) kemudian menggaruk dan menempatkan top soil dan overburden ke lokasi stock mengingat top soil ini suatu saat akan dikembalikan lagi. Tahapan pembuatan jenjang terus dilanjutkan hingga membentuk cekungan atau kubah terbalik.
Nah jika cadangan dianggap tidak ekonomis lagi, maka mulailah lahan eks tambang ini masuk tahap reklamasi untuk mengembalikan fungsi fisik sesuai peruntukannya. Beberapa tahapan umum teknis yang dilakukan jika suatu institusi akan melakukan reklamasi yaitu:
Lapisan top soil tetap diusahakan dalam kondisi sangat baik


Contouring, meratakan lahan yang akan ditanami


Kemudian lanjut ke tahap persiapan lahan yaitu dengan perataan lahan (contour leveling). Tahapan ini adalah meratakan sehingga nantinya memudahkan penimbunan top soil, menguatkan porositas da menyerap air. Reklamasi memang dapat dilakukan di lahan miring atau lereng meskipun akan ditemui banyak kesulitan. Lahan yang kemiringannya sudah diratakan akan memudahkan proses lanjut reklamasi. Pemadatan lapisan tanah untuk menstabilkan lereng ini dilakukan dengan tractor, grader atau bulldozer (sheep foot roller). Di beberapa lokasi lahan yang curam, maka pemadatan ini ditarik dengan bulldozer. Setelah tanah dipadatratakan, maka selanjutnya perlu dibuat saluran drainase untuk mengatur penyaliran.
Tahapan selanjutnya setelah penyiapan lahan adalah proses hydroseeding. Hydroseeding adalah aktivitas penyebaran atau penyemaian lahan reklamasi dengan bibit tanaman perintis (umumnya yang digunakan adalah centrocema) yang sebelumnya telah dicampurkan dengan fertilizer dan aditif lainnya. Penyebaran dilakukan dengan truck hydro seeder. Hydro seeding ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tanah sehingga tanaman akan mendapatkan lingkungan yang baik.
Hydroseeding, menanami lahan reklamasi dengan campuran pupuk, benih dan aditif

Setelah penyiraman hydro seeding maka tanah akan ditumbuhi oleh tanaman cover crops seperti centrocema pubescence atau centrocema mole. Tanaman ini akan mengikat nitrogen dan beberapa mineral aktif lainnya sehingga meningkatkan kesuburan tanah. Juga untuk mengendalikan erosi, habitat awal fauna , melembakan kondisi tanah serta tempat tumbuh tanaman lain yang bijinya terbawa oleh binatang atau terbang oleh angin.
Untuk penanaman pohon, maka disusun pembuatan lubang tanam untuk anakan dengan dimensi disesuaikan dengan kebutuhan. Media tanam yang diperlukan umumnya adalah tanah top soil, pupuk (kompos) dan fertilizer lainnya. Jarak tanam juga disesuaikan. Untuk memperkuat lahan maka biasanya ditambahkan jarring (mesh) di selanjang lokasi juga untuk mencegah longsor.



Melakukan penimbunan lahan kemudian menempelkan lapisan tanah yang subur (top soil) di lahan yang akan direklamasi. Ini bertujuan untuk memberikan lapisan penyubur sehingga memudahkan tanaman untuk tumbuh dan memberikan kekuatan menyangga tanah karena lahan eks tambang umumnya miskin unsur hara, memiliki porositas tinggi dan penyerapan air rendah.

Senin, 18 Juli 2011

Potensi Bahaya di Tambang Bawah Tanah

Salah satu karakteristik kegiatan pertambangan adalah padat modal, padat teknologi dan memiliki risiko yang besar. Kemudian sebagai aktivitas ekstraktif, banyak aktivitas dilakukan pada kondisi ekstim sehingga potensi terjadinya kecelakaan sangat besar. Kemudian salah satu acuan utama dalam praktek penambangan yang baik dan benar termasuk di dalamnya pelaksanaan budaya keselamatan dan kesehatan kerja adalah Kepmentamben No. 555K/MPE/1995 tentang Pedoman Kesehatan Keselamatan Kerja di Wilayah Pertambangan.
Tambang bawah tanah memiliki resiko keselamatan kharakteristik dibandingkan dengan tambang terbuka dikarenakan keterbatasan kondisi yang disesaikan dengan aktivitas bawah tanahnya. Tingkat resiko yang tinggi ini maka keselamatan kerja haruslah menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan kegiatan tambang. 
Di dalam aktivitas pertambangan bawah tanah, potensi bahaya dari aktivitas yang dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan  tambang terbuka. Ini dikarenakan kondisi dan lokasi kerja yang sangat terbatas dibanding tambang terbuka. Beberapa keterbatasan tersebut adalah:
a.       Ruang Kerja yang Terbatas
Bekerja di bawah tanah tentunya jauh berbeda dibanding bekerja normal diatas permukaan. Dimensi bukaan tunneling mesti dihitung cermat agar efisien dari sudut biaya, dan aman dilihat dari pertimbangan teknis. Tunneling yang terlalu besar akan akan membutuhkan biaya tinggi disertai dengan kerumitan-kerumitan teknis.
Pekerja tambang dituntut untuk bekerja dalam lingkungan yang terbatas. Terbatasnya ruang sudah jelas akan mempertinggi resiko yang dapat mengancam keselamatan. Bahaya tertabrak kendaraan bergerak (LHD, Wheel Loader, Mine Truck, Jumbro Drill dan lain sebagainya) dapat saja terjadi akibat keterbatasan ruang gerak.
Dimensi alat harus disesuaikan dengan dimensi bukaan

b.      Cahaya yang terbatas
Bekerja di bawah tanah berarti bekerja tanpa penyinaran yang alami dan di bawah keterbatasan cahaya. Cahaya bantuan hanya didapat dari penerangan dengan lampu atau melalui Mine Spot Lamp (MSL). Tetapi jika cahaya bantuan ini dibandingkan dengan panjang tunneling yang dapat mencapai beberapa kilometer maka penerangan tidak mungkin dipasang di seluruh tempat. Bekerja dengan cahaya terbatas atau diterangi oleh MSL tentunya sangat riskan. Oleh karena itu para pekerja tambang bawah tanah tidak diperbolehkan untuk bekerja sendirian. Setidaknya ditemani oleh satu orang untuk mengantisipasi jika salah satu MSL tersebut mati.
Pekerja dibekali lampu sorot (Mine Spot Lamp) sebagai penerang tambahan

c.       Kondisi batuan yang rawan
Batuan rapuh adalah musuh terbesar miners. Telah dilakukan beragam metode terapan untuk memperkuat batuan tetapi pekerja tambang tetap harus waspada akan bahaya ini. Runtuhan batuan, sekecil apapun akan beresiko. Runtuhan batuan kecil mungkin saja merupakan awal dari aktivitas yang memancing ambrukan lebih besar lagi. Untuk meminimalkan resiko keselamatan kerja, selain penyanggaan yang harus teliti dan akurat, berbaga macam prosedur kerja juga diperlukan untuk melengkapi keamanan aktivitas.
Supporting System, untuk memperkuat lubang bukaan pada kondisi batuan rawan

d.      Gas berbahaya
Berbagai macam jenis gas berbahaya, tumpah ruah dan banyak terdapat di dalam tambang bawah tanah. Metan adalah gas berbahaya yang ditemui di tambang batubara bawah tanah. Sedangkan utuk tambang bijih bawah tanah, gas yang paling berbahaya adalah carbonmonodioxide (CO). Para pekerja tambang bawah tanah rawan terpapar dengan gas beracun. Akibat sirkulasi udara terowongan yang terbatas, gas-gas beracun tidak bisa langsung terlepas ke atmosfer. Beberapa gas beracun ini antara lain CO, CO2, H2S, NOx, dan SO2. Gas ini dapat terjadi akibat proses peledakan, emisi kendaraan dan alat berat maupun  gas yang terlepas alami oleh kondisi batuan.
Pada banyak kondisi, sulit membuat kadar masing-masing gas itu menjadi benar-benar nol. Oleh karena itu ditetapkanlah ambang batas. Tidak ada satupun pun gas yang boleh melebihi ambang batas ini. Jika terdapat dalam kadar tinggi, gas-gas ini dapat menyebabkan kematian.
Ventilasi yang baik dapat mengurangi potensi keracunan gas berbahaya

Karbon monoksida bersifat racun karena hemoglobin dalam darah lebih mudah mengikat gas ini dibanding oksigen. Akibat darah yang justru mengangkut CO, maka suplai oksigen ke organ vital menjadi berkurang. Salah satu organ yang peka adalah otak. Kekurangan oksigen pada otak dapat menyebabkan kerusakan otak hingga mengantar pada kematian.
Berikut adalah gejala akibat keracunan karbon monoksida dalam berbagai konsentrasi:
·         35 ppm (0.0035%)     Pusing jika terdedah lebih dari 6 jam
·         100 ppm (0.01%)        Pusing jika terdedah lebih dari 2 jam
·         200 ppm (0.02%)       Pusing dalam rentang 2-3 jam
·         400 ppm (0.04%)       Pusing hebat dalam rentang 1-2 jam
·         1,600 ppm (0.16%)    Pusing dalam 45 menit. Tak sadar dalam 2 jam.
·         3,200 ppm (0.32%)   Pusing dalam rentang 5-10 menit. Kematian dalam 30 menit.
·         6,400 ppm (0.64%)   Pusing dalam waktu 1-2 menit. Kematian kurang dari 20 menit.
·         12,800 ppm (1.28%)  Tak sadar dalam 2-3 tarikan napas. Kematian dalam 3 menit.


e.      Debu dan Partikulat
Aktivitas di bawah tanah hampir selalu dipengaruhi oleh debu baik yang berasal dari batuan halus, kayu, semen maupun dampak dari lalu lintas alat berat. Debu yang berbahaya adalah debu silica yang jika terhisap dapat mengendap di pernafasan dan mengakibatkan penyakit silikosis. Jenis debu yang juga berbahaya adalah debu batubara dan debu dari bijih radioaktif. Debu-debu ini juga mampu menimbulkan masalah kesehatan yang serius.
Upaya yang umum dikerjakan untuk mengurangi tingkat resiko akibat terpapar debu yaitu dengan membuat sistem ventilasi udara yang baik. Sirkulasi udara di tambang bawah tanah harus dibuat selancar mungkin dengan mengalirkan udara bersih dan supply oksigen serta membawa keluar udara kotor. Selain itu untuk menambah keselamatan, para pekerja juga harus dilengkapi dengan respirator (masker) sebagai alat pelindung kesehatan.

Respirator, Alat Pelindung Diri wajib di area penuh debu

f.        Heat and Cold Stress
Wilayah tambang kebanyakan berada di jalur khatulistiwa dengan iklim yang panas, dan mungkin bisa mencapai 400 C pada udara normal di luar. Berdasarkan undang-undang kesehatan dan peraturan menteri mengenai bahaya pajanan fisik, mengenai heat stress tidak berlaku karena hanya membatasi hingga 320 C saja. Di tambang bawah tanah diusahakan tidak di temui daerah yang bersuhu diatas 320 C oleh kaerna itu diperlukan system ventilasi yang memadai serta disediakan  lokasi pengisian air minum dan tempat istirahat sementara yang dekat dengan lokasi kerja.
Ventilasi berfungsi menyalurkan udara bersih dan mengeluarkan udara kotor serta memperbaiki suhu lokasi kerja

g.       Bahan Kimia
Pekerja tambang bawah tanah rawan terpapar bahan kimia yang umumnya disebabkan karena aktivitas charging blasting (akibat penggunaan bahan peledak), penggunaan oli bor, proses pengisian kembali (backfilling /pastefil) maupun dari aktivitas shoot crete. Bahan kimia yang rawan terpapar seperti Sianida (CN-), Nitrat (NOx), Gas Mudah Menguap (Volatile Gases) dan lainnya.
Bahan kimia, perlu pengelolaan tertentu dan cermat dalam pengendaliannya

h.      Personal Hygiene
Adalah salah satu hal yang paling jarang di awasi. Peralatan dalam mendukung hygiene personal yang paling penting adalah washtafel dan sabun cuci tangan yang sulit didapatkan di lokasi underground. Kebanyakan pekerja bawah tanah tidak peduli terhadap kebersihan hygiene ini, tidak ditemui lokasi pencucian dan bahan pencuci yang aman di kantin. Pemeriksaan feces dan standarnya harus dilakukan 6 bulan sekali untuk menghindari kontaminasi kuman diare pada saat pengelolaan makanan.

i.         Kebisingan
Kebisingan ditemukan di banyak lokasi tabang bawah tanah seperti akibat aktivitas mesin berat, aktivitas blower ventlasi maupun dari aktivitas blasting. Penggunaan APD yang memadai sangat diperlukan pada kondisi ini. Penggunaan yang direlomendasikan adalah ear muffler.

Pelindung pendengaran, sangat perlu karena pendengaran yang rusak tak dapat pulih

j.        Manual Handling
Walau telah banyak menggunakan alat-alat canggih di dunia tambang, cidera akibat manual handling masih banyak terjadi. Cidera manual handling yang paling banyak ditemukan pada pakerja dengan menggunakan alat yang berat seperti pada penggunaan alat bor jackleg. Manual handling umumnya terjadi pada para pekerja yang mengangkat beban secara manual lebih dari 50 kg dengan perjalanan yang panjang dan berbahaya.

k.       Kelembaban
Masalah lembab banyak dijumpai di pertambangan diatas 1000 m dpl dan juga pertambangan bawah tanah. Lembab dapat memicu penyakit yang disebabkan kuman yang menyerang kulit dan pernapasan. Selain karena keterbatasan udara bersih bawah tanah, kelembaban juga diakibatkan banyaknya limpasan dan kebocoran air dan juga kelembaban dari material kayu yang melapuk. Salah satu solusi dalam permasalahan ini adalah diperlukan pengaturan batas lama bekerja di dalam bawah tanah sesuai tiap meter ke dalamannya dan juga  pemberian aliran udara yang terus menerus akan membantu pengurangan lembab dan pengap.

Sabtu, 16 Juli 2011

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tambang

Salah satu karakteristik kegiatan pertambangan adalah padat modal, padat teknologi dan memiliki risiko yang besar. Kemudian sebagai aktivitas ekstraktif, banyak aktivitas dilakukan pada kondisi ekstim sehingga potensi terjadinya kecelakaan sangat besar. Kemudian salah satu acuan utama dalam praktek penambangan yang baik dan benar termasuk di dalamnya pelaksanaan budaya keselamatan dan kesehatan kerja adalah Kepmentamben No. 555K/MPE/1995 tentang Pedoman Kesehatan Keselamatan Kerja di Wilayah Pertambangan.
Sesuai dengan arahan untuk pelaksanaan good mining practice, salah satu hal yang diutamakan adalah memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja untuk seluruh karyawannya. Dan cara memberikan jaminan itu adalah denga memberikan pemahaman tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara terus menerus sehingga akan mampu membentuk safety culture.
Kecelakaan Tambang, Dapat terjadi Kapan dan Dimana Saja
Budaya (culture) merupakan obyek studi ilmu antropologi dan konsepnya bersifat luas serta holistik. Budaya menggambarkan suatu kualitas yang sifatnya sangat khusus pada kelompok manusia dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Karena memiliki budaya inilah umat manusia memiliki apa yang dikenal dengan peradapan (civilization).
Istilah budaya keselamatan (safety culture) pertama kali tertera dalam laporan yang dibuat oleh International Nuclear Safety Advisory Group (INSAG) pada tahun 1987 yang membahas peristiwa “Chernobyl”. Atas dasar itu, International Atom Energy Agency (IAEA) menyusun konsep atau model dan metoda pengukuran Budaya Keselamatan untuk instalasi nuklir, sehingga istilah Budaya Keselamatan menjadi dikenal secara internasional, khususnya dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Safety culture is the product of individual and group values, attitudes, perceptions, competencies and pattern of behavior that can determine the commitment to, and the style and proficiency of an organization’s health and safety management system.
Budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu:

1.   Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological aspects, what people feel, what is believe)
Aspek pertama, apa yang dirasakan seseorang sangat terkait dengan aspek Pribadi (PERSON), seperti misalnya cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, harapan, dan lain-lain.

2.   Aspek perilaku K3 pekerja (Behavioral aspects, what people do, what is done)
Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku sehari-hari (BEHAVIOUR), seperti misalnya perilaku sehari-hari di perusahaan, kebiasaan-kebiasaan dalam K3 dan sebagainya.

K3, perlu mendapat perhatian sangat serius

3.   Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situational aspects, what organizational has, what is said)
Aspek ketiga berkaitan erat dengan situasi lingkungan kerja (ENVIRONMENT) seperti apa yang dimiliki perusahaan/organisasi mengenai K3, contohnya Sistem Manajemen K3, SOP, Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.


Ketiga aspek tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Budaya K3 yang kuat tentunya akan ditandai dengan kuatnya tiga aspek tersebut. Oleh karena itu, suatu perusahaan diharapkan mempunyai budaya yang selalu meningkatkan K3 secara sinambung dimana K3 sudah menjadi nilai-nilai pribadi dan tampil dalam kehidupan sehari-hari (continuous improvement culture, behavior based culture), bukan hanya menjadikan K3 sebagai bagian dari visi dan misi perusahaan yang tampak dari keberadaan sistem manajemen, SOP dan lain-lain di perusahaan (organizational based culture, system based culture), apalagi hanya menjadikan K3 sekedar mematuhi peraturan (compliance based culture, rule based culture).  
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan kecelakaan kerja di Industri.
a.       Teori Domino
Dalam buku Industrial Safety, David Colling, mendefiniskan kecelakaan kerja (selanjutnya akan ditulis kecelakaan saja) sebagai berikut “Kejadian tak terkontrol atau tak direncanakan yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau lingkungan, yang membuat terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat pada cedera, sakit, kematian, atau kerusakan properti kerja.”
Ada beberapa teori yang berkembang untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan ini. Salah satu yang ternama adalah yang diusulkan oleh H.W. Heinrich dengan teorinya yang dikenal sebagai Teori Domino Heinrich. Dalam Teori Domino Heinrich, kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan: 1. Kondisi kerja; 2. Kelalaian manusia; 3. Tindakan tidak aman; 4. Kecelakaan; 5. Cedera.
Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama. Ilustrasi ini mirip dengan efek jatuhnya kartu blok domino, jika satu blok kartu domino roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang menyebabkan robohnya kartu blok domino yang berikutnya.
Teori Domino Oleh Heinrich

Jadi teori ini menegaskan adanya hubungan antara factor penyebab kecelakaan yang satu dengan factor yang berikutnya. Efek yang ditimbulkannya dapat sangat besar dan merupakan potential accident
Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan. Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini menyumbang 98% penyebab kecelakaan di lokasi kerja.
Jika kita menganalogikan dengan kondisi di tambang bawah tanah, teori ini sangat tepat untuk merepresntatifkan potensi kecelakaan yang mungkin terjadi. Kondisi tidak aman sebagai kartu domino awal jika tidak di handling dengan tepat tentunya akan menyebabkan potensi kecelakaan. Potensi kecelakaan ini akan tetap tersimpan sampai benar-benar terjadi kelalaian manusia. Dan kelalaian manusia ini akan juga menyebabkan adanya tindakan tidak aman (unsafe act) sehingga akan memicu terjadinya kecelakaan.

b. Teori Swiss Cheese
Teori swiss Cheese adalah teori lain tentang kecelakaan kerja yang menekankan penyebab kecelakaan pada kelalaian/kesalahan manusia (human errors). Teori ini dikenalkan oleh James Reason dan membagi penyebab kelalaian/kesalahan manusia menjadi 4 tingkatan: 1. tindakan tidak aman (unsafe acts); 2. pra-kondisi yang dapat menyebabkan tindakan tidak aman (preconditions for unsafe acts); 3. pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision); 4. pengaruh organisasi (organizational influences).
Teori ini memberikan informasi bagaimana suatu tindakan tidak aman dapat terjadi. Informasi berikut, menunjukkan bagaimana terjadinya suatu tindakan tidak aman itu. Dalam Swiss Cheese Model, berbagai macam types of human errors ini merepresentasikan lubang pada sebuah keju. Jika keempat keju ini (unsafe act, preconditions for unsafe acts, unsafe supervisions, and organizational influences) sama-sama mempunyai lubang, maka kecelakaan menjadi tak terhindarkan.

Teori Swiss Cheese, Tiap Lubang Akan Berpotensi Menimbulkan Bahaya

Dalam berbagai aspek, teori ini mampu memberi banyak sumbangan atas pencegahan kecelakaan kerja . Agar kecelakaan dapat dicegah, manajemen mesti mengenali secara spesifik kemungkinan terjadinya kelalaian/kesalahan manusia pada tiap tahapan pekerjaan yang dilakukan karyawan. Melalui pendekatan ini, karyawan tidak lagi menjadi pihak yang melulu dipersalahkan jika suatu kecelakaan terjadi. Melalui Swiss Cheese Model, manajemen yang justru dituntut untuk melakukan segala upaya yang diperlukan untuk melindungi karyawannya.

c. Teori Gunung Es
Teori gunung es adalah salah satu teori yang sangat sesuai dengan kondisi kecelakaan di pertambangan. Teori Kecelelakaan itu dapat diibaratkan sebagai gunung es, artinya hanya bagian puncaknya saja yang terlihat. Padahal di bawah permukaan laut, justru terdapat gunung es besar yang lebih berbahaya, karena dapat menjadi bahaya laten.
Gunung Es, Terlihat Aman di Permukaan, Tetapi Tidak Di bawah Permukaan

Teori ini juga sangat terkait dengan biaya yang dikeluarkan akibat timbulnya suaut kecelakaan. Biaya yang ditimbulkan oleh suatu kecelakaan umumnya hanya terlihat dari bagian atas saja yaitu biaya pengobatan, asuransi dan biaya kecelakaan. Padahal di bawah itu, aka nada banyak kerugian yang ditimbulkan, mulai dari kerusakan alat, perkakas, delay produksi, pengeluaran untuk penyediaan biaya perawatan, biaya investigasi, biaya legal dan lainnya. Jadi akan muncul biaya lain lagi yang dapat lebih besar namun tak terlihat di permukaan.

Dampak Biaya yang DIkeluarkan Akibat Suatu Kecelakaan